Khilafiyah dalam Corak Negara Pluralis

Ditulis oleh: Belva Nuriana Rosidea (AB 2 KAMMI Jember)

Sumber gambar: bincangsyariah.com

Fikih dalam bahasa Arab artinya pengertian. Sedangkan menurut Imam Abu Ishak As-Syirazi menerangkan bahwa fikih ialah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat melalui metode ijtihad.1 Fikih sendiri meliputi ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayah. Dalam hal ini lahir beberapa ulama fikih yang terkenal, di antaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Mereka adalah empat imam mazhab yang populer. Namun, akhir-akhir ini perbedaan pendapat di antara keempatnya sering menjadi perdebatan.

Menurut M. Husain Abdullah, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Sumber dari mazhab adalah Alquran, as-sunnah, qiyas, dan ijma’. Sehingga mazhab bukanlah sekedar perkataan dari para imam, seperti anggapan beberapa orang.

Rasulullah Muhammad, memang menganjurkan kepada umatnya untuk kembali kepada Alquran dan as-sunnah, dua hal inilah yang diwariskan Rasulullah sebagai juru kunci keselamatan untuk umatnya. Namun, Alquran dan hadis perlu pemahaman yang dalam untuk  mengartikannya. Alquran merupakan firman Allah dengan bahasa Arab tingkat tinggi, dimana seorang perlu keilmuan yang tinggi untuk bisa benar menafsirkannya. Sehingga, untuk manusia awam yang masih dangkal ilmunya, tidak seharusnya menafsirkan Alquran dan hadis sesuka hati tanpa modal keilmuan yang mumpuni.

Ketika seorang  bermazhab kepada salah satu dari imam mazhab tersebut, sejatinya ia sedang kembali kepada Alquran dan as-sunnah, karena para ulama fikih (imam mazhab) tersebut juga mengambil sumber dari sana. Orang awam dari kaum muslim hendaknya mengikuti imam mereka, sebagaimana  diperintahkan  Alla¯h  Swt. dalam QS. An Nahl:43,  yang artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidah mengetahui”.

Mazhab fikih sudah ada sejak zaman sahabat, banyak ulama mazhab fikih selain keempat ulama yang saya sebutkan di atas, namun yang paling populer untuk saat ini khususnya di Indonesia adalah keempat ulama mazhab tersebut. Perbedaan yang terjadi di antara keempatnya wajar terjadi. Menurut Abdul Wahab Khallaf, perbedaan penetapan hukum tersebut berpangkal pada tiga persoalan. Pertama, perbedaan mengenai penetapan sebagian sumber-sumber hukum (sikap dan cara berpegang pada sunah, standar periwayatan, fatwa sahabat, dan qiyas. Kedua, perbedaan mengenai pertentangan penetapan hukum dari tasyri’ (penggunaan hadis dan ra’yu). Sedangkan yang ketiga, perbedaan mengenai prinsip-prinsip bahasa dalam memahami nas-nas syariat (ushlub bahasa).2

Khilafiyah memiliki arti yang sama dengan kata ikhtilaf. Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Perbedaan pendapat dalam hukum Islam (ikhtilafatu al-fiqhiyah) bagaikan buah yang banyak berasal dari satu pohon, yaitu pohon Alquran dan sunnah, bukan buah yang banyak dan berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang pohon itu adalah Alquran dan sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil-dalil naqli dan ‘aqli, sedangkan buahnya adalah hukum Islam (fikih) meskipun berbeda-beda atau banyak jumlahnya.

Sebenarnya masalah khilafiyah ini sudah disinggung oleh Rasulullah Muhammad sejak dahulu, bahkan beliau dalam sabdanya, Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian”.3 Dalam menyikapi perbedaan pada urusan agama, Allah berfirman Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).

Perbedaan yang terjadi di antara umat muslim akibat perbedaan mazhab, hendaknya tidak mengakibatkan perpecahan karena persatuan umat ini juga merupakan hal yang dianjurkan oleh agama sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran: 103, “... dan janganlah kamu bercerai berai”. Terlebih untuk umat muslim yang tinggal di negara pluralis seperti Indonesia, sudah selayaknya memiliki jiwa toleransi kepada sesama muslim. Selama sama-sama menyembah Allah Yang Esa dan berpedoman kepada Alquran dan sunah, maka ia seorang muslim dan ia adalah saudara. Sesama saudara seiman hendaknya tidak boleh saling menghina, merasa paling benar, dan membid’ahkan sesama.

Namun para ulama mazhab di atas juga seorang manusia biasa dan tidak maksum, tidak dijamin lepas dari kesalahan. Itu sebabnya tidak semua pendapat mereka harus diterima mentah-mentah, semua harus dikembalikan lagi kepada sumbernya, yaitu Alquran dan hadis. Karena kesadaran bahwa dirinya tidak lepas dari kesalahan, beberapa ulama bahkan meninggalkan pesan untuk pengikutinya, seperti perkataan Imam Ahmad bin Hambal, “Jangan taklid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i maupun Ats-Tsauri. Ambilah dari mana mereka mengambil (dalil)”.4 Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi 32, Imam Malik pun berkata, “Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Quran dan sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Quran dan sunnah, tinggalkanlah”.5

Meskipun perbedaan khilafiyah khususnya dalam hal mazhab dapat ditoleransi, dengan kata lain perbedaan tersebut asal ada dalil yang jelas dari Alquran dan hadis maka tidak bisa disalahkan. Namun, sebagai umat Islam lebih baik jika berpegang pada ajaran satu mazhab agar lebih damai dalam menjalan kan ajaran agama, serta tidak timbul keraguan dalam bertindak. Agama Islam memang agama yang menghendaki kemudahan untuk umatnya, namun sebagai umat tidak elok jika terus mencari-cari kemudahan dengan bergonta-ganti mazhab, atau mencampuradukan ajaran dari berbagai mazhab karena cenderung nampak seperti menggampangkan urusan agama.

Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat salah dan aneh dari para ulama demi mengikuti nafsunya, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sulaiman at Taimi berkata, “Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan”.6

Referensi:

1 Abu Ishak As-Syirazi, Al-Luma’ fî Ushûlil Fiqh, Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyyah, 2010, halaman 6.


2 Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan dan perhembangan huhum Islam, terj. Wajidi Sayadi, ( Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002), 92.


3HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud).


4Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/302.


5Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul Al Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27.


6Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172.

 

Tidak ada komentar