Sunni-Syiah di Balik Konflik Suriah

Ditulis oleh: Syafika Nuring Fadiyah (AB2 KAMMI Jember)

Sumber gambar: https://republika.co.id

Sunni diambil dari kata Sunnah yang secara harfiah berarti tradisi. Sunnah juga berarti kelompok yang menerima kepemimpinan Abu Bakar r.a sebagai khalifah dan pemimpin politik umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.1 Ahlu Sunnah berarti sekelompok orang yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad saw, baik itu lisan maupun amalan. Serta mengikuti amalan sahabat mulia Nabi.2

Menurut Ira M., dalam bukunya Sejarah Sosial Ummat Islam, umat Islam terpecah terkait khilafah yang diakui. Sunni adalah sebutan bagi muslim yang menerima suksesi Muawiyah dan serangkaian khalifah sesudahnya. Sedangkan Syiah adalah sebutan bagi mereka yang menganggap bahwa Ali adalah satu-satunya khalifah dan hanya keturunannya yang berhak menggantikan.

Syiah berarti mengikut atau mendukung ide dari individu atau kelompok tertentu.3 Ajaran Syiah pada awalnya ditujukan kepada para pengikut Ali (pemimpin pertama Ahlul Bait pada masa Nabi).4 Kelompok Syiah meyakini bahwa Ali adalah khalifah pilihan Nabi dan yang paling utama di antara para sahabat nabi. Tidak semua individu dalam kelompok Syiah sama dalam meyakini kedudukan Ali, sebagian bersikap ekstrim tetapi sebagian lain bersikap moderat yang hanya mengutamakan Ali atas semua sahabat, tidak mengkafirkan seseorang dan tidak mengkultuskan Ali.5 Ada pula anggapan bahwa akar permasalahan antara Sunni dan Syiah adalah adanya penolakan Syiah Imamiyah terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan berdasarkan otoritas para sahabat Nabi.6

Awal Mula Konflik Suriah

Syiah memiliki kekuatan kuat di Iran sedangkan Sunni di Arab Saudi, sementara kelompok Sunni merupakan mayoritas di Timur Tengah. Revolusi Iran yang dilakukan oleh Ayatullah Khomeini yang berhasil menumbangkan rezim Syah Reza Pahlevi menjadi awal dari gerakan kelompok Syiah di Timur Tengah. Sehingga pada tahun 1979 dapat berdiri Republik Islam Iran yang dipelopori oleh Ayatullah Khomeini. Ia merupakan pemimpin tertinggi sekaligus pemimpin spiritual Iran.7

Suriah merupakan salah satu negara yang tidak terlepas dari fenomena Arab spring yang menjalar di Timur Tengah. Fenomena Arab Spring adalah fenomena yang muncul akibat upaya masyarakat untuk melengserkan pemerintah yang otokrasi sehingga berganti menjadi pemerintahan demokratis. Fenomena ini terjadi terutama di negara-negara Timur Tengah.

Konflik Suriah yang terjadi antara pemerintah dan warga sipil, diawali oleh pecahnya perang saudara di Suriah pada tahun 2011. Diduga hal ini dipicu oleh adanya perbedaan sekte agama yang terjadi di Suriah. Suriah didominasi oleh kaum Sunni namun Assad dikenal sebagai kaum Alawite/Alawiyah. Selain itu terdapat ketidakpuasan rakyat Suriah terhadap pemerintahan presiden Bashar Al Assad. Sekte Alawiyah, merupakan sekte minoritas dalam Islam dan beberapa pemimpin agama menganggap Sekte Alawiyah adalah bagian dari keluarga Syiah, sehingga hal ini menjadi alasan persekutuan antara Iran dan Suriah.8

Masa kepemimpinan Assad yang cukup lama dikenal otoriter. Sehingga hal tersebut memicu banyak aksi demonstrasi dan protes di Suriah yang menuntut agar Bashar Al Assad mudur. Namun ia menolak untuk mundur dari jabatannya. Pemerintah merespon aksi demonstrasi dari masyarakat dengan anarkis. Masyarakat yang menjalankan aksi akan diberi tindakan berupa kekerasan dan serangan tembakan peluru. Dengan adanya fenomena tersebut, Iran membantu pemerintah Suriah untuk meredam aksi pemberontakan yang terjadi di Suriah. Kerja sama antara Iran dan Suriah dimulai saat pecahnya perang Iran-Irak pada tahun 1980-1988. Sejak saat itu pemerintah Damaskus menetapkan untuk berpihak pada Iran. Persekutuan yang dimulai semenjak saat itu menjadi persekutuan yang kuat dan menguntungkan kedua negara dalam penghadapi pergolakan pada Timur Tengah. Iran mengarahkan kelompok Hizbullah untuk membantu Suriah. Hizbullah merupakan kelompok milik pemerintah Iran yang berada di Lebanon. Kelompok ini dilengkapi persenjataan militer dan bertugas membantu Suriah dalam menghadapi fenomena Arab Spring. Adanya konflik yang terjadi di Suriah, membuat Arab Saudi berpandangan bahwa hal tersebut merupakan kesempatan untuk memperluas pengaruhnya di Suriah selepas tumbangnya rezim yang selama ini berkuasa dan dari kekuasaan Iran yang berideologi Syiah. Maka, segera setelah konflik tersebut terjadi, Saudi Arabia mengubah sikap politik luar negeri dan menentang pemerintahan Bashar Al Assad. Sikap ini sejalan dengan arah kebijakan politik luar negeri Saudi Arabia yaitu proaktif mendukung pemerintahan Sunni dan lebih anti terhadap Syiah, baik dalam bentuk pemerintahan maupun ideologi keagamaan.9

Referensi:

1Nathan Gonzalez. The Sunni-Shia Conflict: Understanding Sectarian Violence in The Middle East, (USA: Nortia Press, 1979), 4.

 

2Quraish Shihab, Sunnah-Syi`ah, Bergandengan Tangan, Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 57-60.

 

3Ibid.

 

4Allamah MH. Thabaththaba`i, Shi`ite Islam (terj). (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), h. 37.

 

5Muhammad Abu Zahrah. Aliran politik dan Aqidah dalam Islam (terj). (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011), 34-35.

 

6Joel L. Kraemer, Renaisans Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 106.

 

7http://dunia.news.viva.co.id, diakses: 04 Juli 2020.

 

8Byman, D. L. Syria and Iran: What's Behind the Enduring Alliance? (https://www.brookings.edu), diakses 4 Juli 2020.

9Dacey, J. B., & Levy, D. (2013). The Regional Struggle for Syria. London: European Council on Foreign Relations.

Tidak ada komentar