Dinamika Hukum Islam dalam Arus Globalisasi

Ditulis oleh: Agnesa F. (AB 2 KAMMI Jember)

Sumber gambar: https://darunnajah.com

        Kata fikih secara bahasa berarti al-fahm (pemahaman atau paham disertai ilmu pengetahuan). Ada juga yang menyatakan bahwa fikih menyangkut pemahaman yang diperoleh melalui persepsi berpikir yang mendalam, bukan sekedar tahu atau mengerti.1 Adapun definisi istilah fikih yang dikenal para ulama adalah ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

       Dinamika kehidupan manusia melahirkan sebuah produk yang disebut fikih, dalam peribahasa latin terdapat istilah “ubi societas ibi ius”, artinya dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Ungkapan serupa juga ditemui dalam kaidah usuliyah, yang artinya “dinamika perubahan hukum di tengah masyarakat tidak terlepas dari dinamika perubaan waktu, tempat dan kondisi sosial masyarakat tersebut”. Realitas masyarakat berkembang terus menerus mulai dari masyarakat purbakala yang primitif sampai dengan masyarakat yang maju dan modern saat ini.2

          Dalam perkembanganya, fikih dibagi menjadi dua bagian yaitu fikih klasik dan fikih kontemporer. Fikih klasik adalah ilmu hukum yang berkembang pada periode kenabian dan muncul tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada zamanya, tetapi juga menyiapkan warisan berharga  untuk membangun hukum di masa depan. Fikih klasik banyak berisi hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibadah yang berkaitan dengan lima prinsip pokok, yaitu wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah, serta membahas tentang hukum muamalah.3

         Periodisasi fikih klasik dimulai sejak kerasulan Muhammad saw. sampai wafatnya Nabi Muhammad saw. Pada periode ini kekuasaan penentuan sepenuhnya berada di tangan Rasulullah saw. Sumber hukum ketika itu adalah Alquran dan sunah Nabi Muhammad saw. Pada perkembangan selanjutnya, yaitu fikih pada masa sahabat, fikih pada periode ini bersumber pada  Alquran dan sunah Nabi saw. serta adanya ijtihad. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nas.

Perkembangan selanjutnya setelah masa sahabat yaitu fikih pada masa Imam Mujtahid. Pada masa ini, penetapan fikih dengan menggunakan sunah dan ijtihad begitu berkembang dan meluas. Dari dua sumber tersebut  terlihat kecenderungan yang mengarah pada dua bentuk. Pertama, dalam menentukan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadis nabi saw. Kedua, dalam penetapan hasil fikih lebih banyak menggunakan sumber ijtihad atau ra’yu itu sendiri dibandingkan hadis.

Selanjutnya yaitu fikih dalam periode taklid, tersusunnya secara rapi dan sistematis, kitab-kitab fikih sesuai dengan aliran mazhab masing-masing menjadi tanda akhir dari masa ijtihad. Pada masa ini, usaha yang dilakukan terbatas pada pengembangan pensyarahan dan perincian kitab fikih terdahulu, dan tidak muncul lagi pendapat atau pemikiran baru.4 Karena tidak adanya lagi pendapat atau pemikiran baru menyebabkan sudah mulai banyak ketentuan-ketentuan fikih lama yang tidak dapat diikuti untuk diterapkan secara praktis. Selain itu, sangat banyak masalah fikih yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan semata membolak-balik kitab-kitab  fikih yang ada.

Jika pada masa Imam Mujtahid, fikih yang disusun berjalan secara praktis dengan daya aktualitas yang tinggi, maka pada masa berikutnya, fikih dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya aktualitas. Oleh karena adanya arus globalisasi yang semakin luas dan permasalahan-permasalahan baru yang muncul, serta  kurangnya daya aktualitas, maka umat Islam menginginkan kehidupanya diatur oleh hukum Allah kembali. Keadaan demikian itu mendorong para pemikir muslim untuk menempuh usaha reaktualisasi hukum yang dapat menghasilkan formulasi fikih yang baru, sehingga dapat menuntun kehidupan keagamaan dan keduniaan umat Islam, sesuai dengan persoalan zamannya.

         Adanya arus modernisasi mengakibatkan adanya suatu perubahan dalam tatanan sosial umat Islam, baik itu menyangkut politik, ideologi, sosial, budaya, dan lainnya. Berbagai perubahan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai agama. Lumpuhnya  budaya-budaya berbau Islam di berbagai belahan dunia akibat adanya westernisasi. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa budaya luhur Islam sudah semakin rapuh, bahkan hanya sedikit  yang bersimpati padanya.

Tantangan demi tantangan yang hadir harus dihadapi oleh fikih, mulai dari individu-individu yang mengabaikannya karena adanya doktrin-doktrin dan ajaran sekulerisme dan kapitalisme yang sangat mengakar dan menancap sangat kuat di pemikiran umat Islam saat ini, dan mereka beranggapan bahwa fikih sudah tidak relevan lagi.5 Ketidakberdayaan yang dirasakan oleh mereka yang mengikuti konsepsi yang tidak Islami, menggugah naluri para ahli hukum Islam untuk mewujudkan fkih yang relevan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kemudian lahirlah Fikih Kontemporer yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.

Cakupan fikih kontemporer yaitu mengenai masalah fikih yang berhubungan dengan situasi kontemporer modern mengenai kajian Alquran dan hadis. Beberapa aspek yang menjadi kategori dalam kajian fikih kontemporer yaitu, aspek hukum keluaga, misalnya penggunaan alat kontrasepsi. Aspek pidana, misalnya hukum pidana Islam dalam hukum internasional. Aspek kewanitaan, misalnya busana muslimah, wanita karir dan kepemimpinan wanita. Aspek medis, misalnya pencangkokan organ tubuh, trasfusi darah, dan euthanasia. Aspek teknologi, misalnya menyembelih hewan secara mekanis. Aspek politik dan aspek yang berkaitan dengan ibadah seperti tayamum, qurban dengan uang, dan menahan haid demi ibadah haji.6

                       

Referensi:

1Masduki, Dasar-Dasar Ilmu Ushul Fiqih 1, Lembaga Penelitian Institut Agama Islam Sultan Maulana Hasanudin Banten, Serang, 2012, H.2.


2E-journal.radenintan.ac.id, diakses: 16 Juli 2020.


3Respository.uinbanten.ac.id, diakses: 17 Juli 2020.


4Ibid.


5E-journal, op.cit.


6Respository, op.cit.

Tidak ada komentar