Eksistensi Mazhab Syafi'i di Indonesia

Ditulis oleh: Annisa Abdillah Z. D. (AB 2 KAMMI Jember)

Sumber gambar: markazinayah.com

       Mazhab Syafi’i merupakan salah satu mazhab dari empat mazhab fikih yang masih bertahan. Mazhab ini banyak dianut oleh masyarakat Islam di Asia Tenggara, terutama Indonesia.1 Mengapa demikian? Hal ini bisa dijawab melalui bagaimana asal mula Islam masuk ke Indonesia. Ada beberapa pendapat mengenai masuknya Islam di Indonesia, mulai dari teori Gujarat hingga teori Arabia.

Teori Gujarat menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-12 M. Hal itu didasarkan pada adanya kemiripan antara batu nisan yang ditemukan di Pasai (1428 M) dengan batu nisan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik (1419 M), dimungkinkan batu nisan itu adalah produksi Gujarat yang dikirim ke Sumatera dan Jawa. Sedangkan teori Arabia menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 Masehi dan pada saat itu, Gujarat masih merupakan wilayah Hindu. Asumsi tersebut didasarkan pada sumber Cina yang menyebutkan bahwa ada seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab muslim di salah satu pesisir pantai Sumatra.2

Dalam hal ini, Azyumardi Azra melakukan kompromi dengan berpendapat bahwa kemungkinan besar  Islam masuk di Indonesia pada abad ke-7 Masehi dan pengaruh Islam mulai tampak jelas pada abad ke-12 Masehi. Namun, di balik perbedaan pendapat tersebut, ditemukan adanya kesamaan bahwa baik teori Gujarat maupun teori Arabia menjelaskan bahwa kawasan-kawasan Islam pada teori-teori tersebut sama-sama menggunakan mazhab Syafi’i. Dengan demikian ada sebuah alasan mengenai mengapa mayoritas muslim di Indonesia bermazhab Syafi’i, yaitu karena para ulama pada awal mula penyebaran agama Islam menggunakan mazhab Syafi’i.3

            Madzhab Syafi’i, merupakan mazhab yang eksis digunakan oleh masyarakat Indonesia, Ibnu Batutah telah menuliskan dalam catatannya, beliau mengatakan,Tentang Sultan Jawa, beliau adalah Sultan al-Malik al-Zahir, termasuk seorang raja yang mulia dan dermawan. Ia bermazhab Syafi’i. Begitu mencintai para fuqaha yang hadir di majlisnya untuk membacakan (kitab) dan melakukan muzakarah. Dan beliau juga sangat sering berjihad, berperang, dan juga sosok yang tawadhu’. Beliau biasa datang mengerjakan salat Jumat dengan berjalan kaki. Penduduk negerinya (semuanya) bermazhab Syafi’i. Mereka juga mencintai (senang) berjihad. Mereka keluar (berjihad) bersamanya (sultan) dengan suka rela. Dan mereka menang dalam menghadapi orang-orang kafir.” Sultan al-Malik al-Zahir adalah sultan ketiga dari kerajaan Samudera Pasai, dan pada masa kepemimpinan beliaulah Ibnu Batutah mengunjungi kerajaan Samudera Pasai.4

            Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M.5 Meurah Silu kemudian masuk Islam dibimbing oleh seorang ulama Makah, Syekh Ismail al-Siddiq, dan berganti nama menjadi Sultan Malik al-Saleh, sejak saat itu mazhab Syafi’i diperkenalkan di Indonesia. Perkembangan mazhab Syafi’i kemudian berlanjut pada masa pemerintahan kerajaan Aceh Darussalam (1205 M-1675 M) yang mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah (1511 M-1530 M). Kerajaan Aceh menjadi pusat pengkajian Islam di kawasan Asia Tenggara, dalam hal ini kajian-kajian fikih yang dibahas adalah Madzhab Syafi’i.6

            Perkembangan madzhab Syafi’i di Indonesia terus berlanjut dengan banyaknya tokoh-tokoh ulama yang menghasilkan karyanya dalam bidang fikih madzhab Syafi’i. Di antaranya adalah kitab Minhaj al-Salam karya Muhammad Zain al-Badawi al-Sambawi, Samarat al-Muhimmah karya Raja Ali Haji, Kifayah al-Gulam karya Ismail Minangkabau dan Kifayah al-Mubtafi karya Muhammad Noor bin Muhammad bin Ismail al-Fatani.7 Di tengah eksistensi mazhab Syafi’i di Indonesia, kemudian muncul pertanyaan apakah hal ini akan mempengaruhi produksi hukum Islam di Indonesia? Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairul Umam, dalam jurnalnya menjelaskan bahwa pengaruh mazhab Syafi’i lebih dominan digunakan dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, meskipun demikian, para perumus tetap menggunakan pendapat mazhab lainnya.8

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang bersumber dari kitab-kitab fikih empat mazhab yang disatukan dan disusun dengan memakai bahasa perundang-undangan. KHI ini menjadi pegangan hakim di pengadilan agama dalam memutuskan sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah, dan lain-lain yang para pihaknya adalah muslim dan kitab-kitab referensi mazhab Syafi’i menjadi rujukan utama dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.9 Selain itu, badan Lajnah Bahsul Masail NU dalam mengambil hukum, mazhab Syafi’I juga menempati posisi yang dominan.10

            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa madzhab Syafi’i dianut oleh mayoritas muslim di Indonesia karena ada jejak historisnya, yaitu para ulama yang menyebarkan ajaran Islam pertama kali di Indonesia bermazhab Syafi’i. Eksistensi mazhab Syafii di Indonesia ternyata berpengaruh juga terhadap produk hukum Islam di Indonesia dengan menjadikan kitab-kitab referensi mazhab Syafi’i sebagai rujukan utama, namun juga tidak mengesampingkan pendapat mazhab lainnya.

Referensi:

1Muhammad Ikhsan. 2018. Nukhbatul Ulum, Jurnal Bidang Kajian Islam (Sejarah Madzhab Fikih di Asia Tenggara). Vol. 4 No. 2. 120-134.


2Ibid, 123.


3Ibid, 124.


4Ibid, 124.


5Kerajaan Samudera Pasai, (https://www.acehprov.go.id), diakses: 18 Juli 2020.

6Muhammad Ikhsan, Op.cit. h. 127.


7Muhammad Ikhsan, Op.cit. h. 12.


8Khairul Umam. 2017. Jurnal Hukum dan Syariah, Penyerapan Fiqh Madzhab Syafi’I  dalam Penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Vol. 9 No. 27. 117-127.


9Sejarah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (republika.co.id), diakses:18 Juli 2020.

10Fatkul Mujib. 2015. Perkembangan Fatwa di Indonesia (Pendamping Keluarga Harapan Metro). Vol. 4 No. 1. 94-121.

 

 

      

Tidak ada komentar