Tafaqquh dalam Menghadapi Khilafiyah

Ditulis oleh: Imad Aqil (AB 2 KAMMI Jember)

Sumber gambar: muslim.or.id

Ada suatu masalah yang sering menjangkiti masyarakat. Masalah ini bernama “ikhtilaf atau khilafiyah”. Ikhtilaf adalah istilah dalam kajian hukum Islam berarti perbedaan, perselisihan, dan pertukaran. Alquran sebagai pedoman hidup bagi umat Islam menyebutkan kata ikhtilaf pada tujuh ayat dan kata jadiannya pada sembilan tempat.1 Kata ikhtilaf juga sering disebut “khilafiyah” yang berarti adanya cara pandang ulama yang berbeda dalam memberikan sikap terkait persoalan hukum dan aspek lainnya seperti politik, sosial, dakwah, dll.

            Dalam “Risalah Ta’alim”nya, Syeikh Hasan Al-Banna menyebutkan, “Khilafiyah fiqhiyah dalam masalah furu’ (cabang) bukanlah sebab perpecahan dalam agama, dan tidak boleh menyebabkan permusuhan dan kebencian. Dan setiap mujtahid mendapatkan pahala ijtihadnya. Tidaklah tabu mengkaji masalah khilafiyah secara ilmiyah dan murni, dalam naungan cinta karena Allah dan tolong menolong untuk mencapai hakikat, tanpa harus terseret kepada debat kusir yang tercela dan fanatisme”.2

Dari pernyataan Syeikh Hasan Al-Banna di atas dapat kita tangkap bahwa setiap ulama dan mujtahid mendapatkan pahala dari hasil jihadnya. Untuk selanjutnya kita tangkap sebagai pembelajar harus mengedepankan proses pengembangan mencari ilmu dengan kasih sayang dalam persamaan dan toleransi pada hal yang furu’. Adapun di negara kita sendiri, Indonesia dengan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia hidup di dalamnya berbagai mazhab-mazhab dalam memandang pelaksanaan syariat Islam di kehidupan sehari-hari. Untuk itu, penting kita mengenal keberagaman mazhab-mazhab ini dengan belajar terkait definisi mazhab dan cara bersikap terhadap keanekaannya.

 

Definisi Mazhab

Menurut Imam Ahmad al-Dardir dalam al-Syarh al-Kabir-nya.

أَيْ فِيمَا ذَهَبَ إلَيْهِ مِنْ الْأَحْكَامِ الِاجْتِهَادِيَّةِ إمَامُ الْأَئِمَّةِ                     

“Mazhab adalah pendapat dalam perkara-perkara ijtihadiyah yang diambil oleh imam dari para imam mazhab.”

Definisi itu dijelaskan oleh Imam al-Dasuqi, ulama kenamaan dari mazhab yang sama dengan imam al-Dardir; al-Malikiyah. Beliau menjelaskan dalam hasyiyah-nya (1/19) bahwa yang disebut mazhab adalah sekumpulan pendapat yang dikeluarkan seorang imam yang diikuti dari para imam-imam mazhab semisal Imam Abu Hanifah, dan juga Imam Malik tentunya, serta Imam al-Syafi’i, juga Imam Ahmad. Pendapat itu adalah sebuah hukum dalam masalah ijitihadiyah, yakni masalah syariah yang tidak menjelaskan hukumnya secara ekplisit, kemudian menjadi lahan dan ladang para ulama untuk berijtihad di dalamnya. 3

              Beliau (al-Dasuqi) meneruskan, “Jadi, apa yang dijelaskan hukumnya secara eksplisit (nas) di dalam Alquran juga hadis Nabi saw. tidak bisa dikatakan sebagai pendapat mazhab, akan tetapi itu adalah syariah. Contohanya seperti kewajiban salat 5 (lima) waktu. Tidak bisa dikatakan bahwa wajibnya salat 5 (lima) waktu itu pendapat mazhab fulan, tidak bisa! Kewajiban salat 5 (lima) waktu adalah kewajiban yang sifatnya qath’iy, yang tidak butuh ijtihad, karena sudah jelas dan nyata sekali disebutkan dalam Alquran. 4

Berbeda halnya dengan masalah-masalah yang di luar sifat qath’iy, seperti masalah pembacaan kunut salat subuh. Pembahasan kunut salat subuh merupakan masalah ijtihahadiyah. Di dalamnya ulama dapat berijtihad untuk menetapkan hukum atas pelaksanaannya. Imam Malik tidak membaca kunut dalam pelaksanaan salat subuh dan tidak memaksakan muridnya Imam Syafi’i untuk mengikutinya. Imam Syafi’i melaksanakan salat subuh dengan kunut karena itu bagian dari sunah. Dan masih banyak ruang ijtihadiyah lainnya yang dalam syariah belum ada gambaran secara eksplisitnya.

Setelah mengenal definisi mazhab, bagian yang tidak kalah penting adalah belajar terkait sikap ulama dalam memandang khilafiyah. Untuk selanjutnya kita implementasikan dalam merajut ukhuwah Islamiyah dan mewujudkan persatuan di antara umat Islam terutama ormas Islam yang majemuk dengan mazhab-mazhab di dalamnya.

 

Musyawarah dan Menerima Pendapat Kelompok Lain

            Dalam bahasa Arab, musyawarah berasal dari akar kata syawara yang berarti petunjuk, berunding, nasihat, pertimbangan, atau dikenal dalam pelaksanaannya ‘syuro’, berkumpul dan mencari solusi atas permasalahan. Awalnya, musyawarah diartikan sebagai konsultasi yang terjadi dalam badan yang berbentuk majelis syura.

Dalam buku “Diskursus Demokrasi Deliberatif di Indonesia” karya Fahrul Muzaqqi, tradisi musyawarah, gagasan musyawarah mufakat yang dianggap oleh banyak kalangan merupakan gagasan dan tradisi asli masyarakat Indonesia tidak terlepas dari karakter kolektivistik, gotong royong, dan tolong menolong.5

Setelah mengenal definisi musyawarah, setinggi apapun keyanikan dalam memandang pendapat di ruang ijtihadiyah, janganlah menafikan dan menonjolkan pendapat untuk diikuti semua orang, apalagi sampai memvonis bahwa pendapat di luar kelompok adalah bukan bagian Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Semua orang pasti mengikuti dan mengutamakan pendapat golongannya. Jika terus dipaksakan, lalu apa yang terjadi? Rusaknya harmonisasi dalam membangun ukhuwah Islamiyah antar umat Islam dan ormas Islam. Satu sama lain memberikan label sesat dan saling membenci dalam kehidupan.

Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur pernah meminta izin kepada Imam Malik (gurunya Imam Syafi’i) untuk seluruh umat Islam bersatu dengan kitab Al-Muwattha’ yang disusunnya, yang berisi hadis-hadis Nabi saw. fatwa para sahabat dan tabi’in.6 Beliau menjawab, “Wahai Amirul mukminin, jangan Engkau lakukan. Karena orang-orang telah menerima banyak pendapat, mendengar banyak hadis dan banyak riwayat. Setiap kaum telah berpendapat dengan apa yang sampai kepada mereka, mengamalkannya dan terbiasa dengannya, berupa perbedaan para sahabat Rasulullah saw. dan selain mereka. Sungguh mengalihkan mereka dari apa yang telah mereka yakini itu berat. Maka biarkanlah orang-orang dengan keadaannya, dan apa yang dipilih oleh setiap penduduk negeri untuk diri mereka sendiri” .7 Untuk itu, menjadi indah hidup berukhuwah ini jika memberikan kelonggaran  dalam khilafiyah dan bersepakat dalam hal kebaikan.

 

 

Belajar dari Masalah dan Tafaqquh

            Tafaqquh adalah proses belajar dalam memahami dan melaksanakan syariat Allah. Penting bagi kita untuk senantiasa ber-tafaqquh agar semakin cerdas  melihat proses ulama dalam membuat kesimpulan atas sebuah masalah. Rasulullah saw. bersabda:

 

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

 

            “Siapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, maka Allah pahamkan dia dalam agama” (HR. Bukhari dan Muslim). Orang yang hidupnya dibangun dari belajar dari masalah akan didekatkan oleh Allah dengan kebaikan dan senantiasa bertoleransi atas pendapat lain yang dibangun dengan dalil yang lebih kuat.

Referensi:

1Dewan Redaksi, Ensklopedia Islam (2001). ensklopedia Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. hlm. 193.


2Amin. 2015. Bagaimana Menyikapi Perbedaan, Khilafiyah? Diakses: 18 Juli 2020, (www.dakwatuna.com), diakses tanggal 18 Juli 2020.


3Zarkasih. 2016. Madzhab, Apa dan Bagaimana? Rumah Fiqih Indonesia, (https://www.rumahfiqih.com), dilihat 18 Juli 2020.


4Ibid.


5Amin, op.cit.


6Welianto, A 2020, Musyawarah: Arti, Ciri-cirinya dan Manfaat, (www.kompas.com), diakses18 Juli 2020.


7Siyar A’lamin-Nubala, Adz-dzahabi.

 

 

Tidak ada komentar