Mistisme Kebatinan dalam Tarekat Jenar

Ditulis oleh: Saikha Adila Azzah (AB2 KAMMI Jember)

Sumber gambar: https://tebuireng.online

Konsep ketuhanan yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar kepada murid-muridnya memang terpengaruh oleh aliran sufi yang berkembang sebelumnya, sehingga bagi orang awam yang saat itu masih mendalami ilmu fikih yang diajarkan para Wali Songo, ajaran tersebut dianggap sebagai sesuatu yang baru bahkan menyimpang.1

Syekh Siti Jenar sangat menekankan masalah kebatinan. Ada kesamaan antara mistisisme dengan kebatinan dan ilmu Jawa atau disebut kejawen. Sufisme atau tasawuf sendiri adalah mistisisme di dalam dunia Islam. Hal ini menunjukkan ada hubungan kesemaknaan antara kejawen, mistisisme, kebatinan, dan sufisme atau tasawuf. Ajaran kebatinan lebih menekankan aspek kejiwaan daripada aspek lahiriah yang kasat mata.2

Adanya Allah karena zikir merupakan salah satu ajaran dari Syekh Siti Jenar. Menurutnya, berzikir dengan sungguh-sungguh dapat menyatukan diri dengan Allah hingga lenyap dan terasa dalam diri sendiri, di saat itu akan terbuka hijab keajaiban sehingga mampu menghadirkan Allah. Maka di dalam hati timbul gagasan bahwa seseorang yang berzikir itu menjadi zat yang mulia, ia dapat merasakan Allah berada di dalam jiwanya. Ketika berzikir atau mengingat Allah dengan sepenuh hati maka seseorang akan melupakan segala urusan duniawi bahkan lupa terhadap diri sendiri karena merasa diri sendiri telah digantikan oleh Tuhan. Bermula dari sini kemudian muncul konsep bahwa Allah adalah Aku dan Aku adalah Allah. Konsep inilah yang membuat Siti Jenar beserta murid-muridnya dianggap murtad oleh para wali.3

Melalui muridnya yang bernama Ki Ageng Kebokenongo, Siti Jenar menyampaikan jika beribadah secara lahiriah yang dilakukan oleh orang-orang pada umumnya hanyalah sebuah rutinitas atau tradisi belaka. Sebagai contoh seseorang yang melaukan ibadah secara lahiriyah seperti syahadat, berzikir atau shalat saat itu dianggap olehnya hanya sekedar melakukan atau menunaikan saja, tetapi masih memikirkan hal-hal duniawi dan mencemari ajaran-ajaran Islam.4

Syekh Siti Jenar juga mengajarkan jika menyembah nama tanpa makna adalah kafir. Yang dimaksudkan di sini yaitu Allah bisa disebut dengan nama-nama lain asalkan baik, namun apabila kita menyembah nama-nama-Nya saja tanpa mengetahui makna atau esensinya maka dianggap kafir. Menurutnya menyembah Tuhan bukanlah menyembah nama, tetapi seseorang harus larut sehingga meniadakan atau menghilangkan diri sendiri karena ada kehadiran Tuhan di dalam hatinya. Menurut konsep Siti Jenar, Allah bukanlah suatu wujud mutlak yang Esa atau Tuhan dalam perwujudan-Nya. Allah tetap dianggap sebagai sebuah nama yang mana nama itu itu diciptakan oleh manusia. Oleh karena itu paham ketuhanan Siti Jenar bukanlah ditujukan kepada nama, tetapi kepada esensi atau hakikat. Maka tauhid yang dianggap benar adalah tauhid Zat bukanlah tauhid nama. Menurutnya menyembah Tuhan adalah menyembah wujud dari Tuhan yang tak terjangkau dan tak terhingga bukan hanya terbatas pada nama Tuhan.5

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Siti Jenar menganggap ajaran yang diajarkan oleh para wali yaitu ajaran syariat tidak sampai menyentuh pada ilmu ketuhanan sehingga seseorang akan kebingungan ketika ditanya tentang Tuhan. Sementara Siti Jenar berani menyatakan bahwa dirinya adalah Tuhan karena Tuhan telah bersatu dengan dirinya, “Aku adalah Tuhan dan Tuhan adalah Aku.  Dalam ajaran sufi ini, istilah Manunggaling Kawula Gusti atau Ana al-Haq bukanlah sesuatu yang salah. Mereka menganggap Tuhan itu sangat dekat bahkan tidak ada jarak sedikitpun sehingga menyatu dengan manusia.6

Namun ada beberapa perbedaan antara paham atau ajaran Siti Jenar dengan ajaran sufi.  Dimana dalam dunia sufi, seseorang yang awam dapat menyerahkan dirinya kepada seorang yang lebih berilmu atau seorang guru untuk menghubungkan seseorang yang awam tersebut dengan Tuhan. Dan saat itulah muncul yang disebut dengan wasilah atau suatu penghubung dengan Tuhan. Berbeda dengan hal tersebut, Siti Jenar menganggap manusia hanya bisa dekat atau menyatu dengan Tuhannya dikarenakan perbuatan, sikap, akal budi, dan juga kesalehannya. Karena arti dari tasawuf yaitu upaya seorang hamba untuk berada di tempat terdekat dengan Allah bahkan hingga tak berjarak. Dan untuk mencapai tempat itu memang dibutuhkan wasilah, namun wasilah tersebut berbentuk keyakinan tentang Tuhan dan kesalehan, tidak bisa diwakilkan oleh seseorang. Walaupun demikian, konsep menyatunya Tuhan dengan manusia bukan berarti seseorang dapat menggantikan posisi Tuhan atau dianggap sebagai Tuhan seperti Firaun pada masa lalu yang menyatakan dirinya sebagai Tuhan dan harus disembah. Maksud Siti Jenar saat menyatakan dirinya sebagai Tuhan tidak lain adalah karena ia meniadakan pribadi dirinya sendiri seakan-akan dirinya hancur lebur dan tak berarti apa-apa.7

Akhir perjalanan mistik/tarekat Jenar adalah ajaran makrifatnya yang tertinggi yaitu ajaran Manunggaling Kawulo Gusti. Pada perkembangan selanjutnya ajaran ini dimodifikasi yang salah satu variannya dituangkan dalam bentuk cerita “Bimapaksa” dan cerita “Dewa Ruci”. Seperti manunggalnya Wujil dan Ken Sat pada cerminnya. Perumpamaan kemanunggalan manusia dengan Tuhan adalah seperti cermin dengan yang bercermin, bayangan yang berada dalam cermin itu namanya adalah kawula atau hamba dan cermin ibarat Tuhan. Baginya hidup sejati hanya bisa diraih apabila nyawa telah lepas dan menyatu dengan Zat Tuhan secara sempurna. Maka, hidup di dunia ini dianggapnya sebagai mati karena membawa sifat ketidaklanggengan.8

 Referensi:

1Al Qalami, Abu Fajar. 2018. Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar. Surabaya : Pustaka Media.

 

2Utomo, Agus Himmawan. 2006. Tauhid Al-Wujud Syeikh Siti Jenar dan Unio Mystica Bima (Sebuah Studi Komparasi). Jurnal Filsafat. Vol. 40, Nomor 2.

 

3Al Qolami, Op.Cit.

 

4Ibid.

 

5Ibid.

 

6Ibid.

 

6Ibid.

 

7Ibid.

 

8Derani, Saidun. 2014. Syekh Siti Jenar : Pemikiran dan Ajarannya. Al-Turāṡ. Vol. XX, No. 2.

Tidak ada komentar