Vonis Ahok Masih Menuai Kritik



Oleh: Indramayu, S.H
(Sekjend Departemen Kebijakan Publik PD KAMMI Jember)

https://arezk.wordpress.com
Telah dijatuhkan vonis pada terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dengan masa hukuman 2 tahun penjara pada Selasa, 9 Mei 2017 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN JU). Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN JU) tersebut masih menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat dikarenakan kasus serupa yang pernah terjadi di Indonesia mendapakan hukuman 3 sampai 5 tahun penjara.  Sekalipun Hakim memutus Ahok dengan putusan Ultra Petita (Putusan yang Melebihi dari Tuntutan Jaksa Penunu Umum/JPU). Semula JPU mengajukan dakwaan alternatif yakni pasal 156 dan pasal 156a KUHP dengan tuntutan satu tahun penjara dengan masa percobaan selama dua tahun. Di luar dugaan, Hakim PN JU mengeluarkan putusan melebihi dari tuntutan JPU dengan menyatakan Ahok terbuki bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama sesuai pasal 156a KUHP dan menjatuhkan vonis penjara dua tahun.

Secara teori, hakim dapat memutus suatu perkara berdasarkan tuntutan JPU, akan tetapi hakim juga harus mempertimbangkan aspek keadilan, kemanfaaan, dan kemaslahatan rakyat Indonesia, sehingga putusan Ultra Petita dianggap tepat untuk diambil sebagai putusan yang adil. Tidak berhenti sampai disitu, Tim Kuasa Hukum Ahok akan menempuh upaya banding ke Pengadilan Tinggi (PT). Terdapat beberapa kemungkinan putusan yang akan dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Tinggi. Hakim PT bisa saja menerima permohonan pemohon, dalam arti mengurangi hukumannya, bahkan dapat dinyatakan tidak bersalah. Kemungkinan berikutnya adalah putusan Hakim PT tidak berbeda dengan putusan dari PN JU, atau kemungkinan ketiga bahwa Hakim PT dapat menambah hukuman menjadi lebih berat dari putusan PN JU. Tentu ini masih menjadi tanda tanya. Kritik juga masih terus dilayangkan untuk penjarakan Ahok. Pasalnya meski Putusan Ultra Petita sudah dibacakan, namun vonis tersebut dinilai masih lebih ringan dibandingkan kasus serupa yang telah terjadi di Indonesia.

Kasus Ahok cukup menyita perhatian. Kata-katanya yang dinilai telah menista agama dan mengundang aksi masa yang cukup besar rupanya hanya divonis dengan hukuman dua tahun penjara. Hakim memang berhak memutuskan berapa tahun hukuman dijatuhkan berdasarkan Pasal 156 dengan hukuman maksimal empat tahun dan pasal 156a dengan masa hukuman maksimal lima tahun.  Sebagaimana kasus serupa yang pernah terjadi di Indonesia:
1. Arswendo Atmowiloto divonis 4 tahun 5 bulan penjara atas kasusnya yang melakukan survey tokoh yang kemudian mengundang aksi masa. Dalam surveynya Arswendo meletakkan Nabi Muhammad pada posisi 11 sementara Soeharto ditempatkan pada posisi 1.
2. Enam anggota Gafatar Aceh dijatuhi hukuman 3 tahun dan 4 tahun penjara karena menista salah satu agama di Indonesia.
3. Musaddeq mengaku sebagai nabi, Andre Cahya sebagai Presiden Negeri Karunia Semesta Alam dan Mafhul Muis Tumanurung selaku wakil Presiden. Ketiganya dijerat dengan pasal penistaan agama 156 KUHP , Pasal 110 tentang pemufakatan untuk makar, dan pasal 64 tentang perbuatan berlanjut. Musaddeq divonis pidana penjara 5 tahun, Andre Cahya 4 tahun penjara, dan Mafhul Muis Tumanurung 5 tahun penjara.

Delihat dari aspek historis kasus serupa dengan sanksi hukuman lebih dari dua tahun penjara tersebut, maka Ahok termasuk terdakwa dengan vonis paling ringan, apalagi masih ada serangkaian jalur hukum yang bisa ditempuh sehingga bisa saja membuat hukuman pada terdakwa akan berkurang atau bahkan terdakwa dapat dibebaskan dari semua tuntutan. Oleh karena itu para penegak hukum harus bersikap tegas dan menegakkan keadilan seadil-adilnya. 

Tidak ada komentar