Tauhid dan Teologi dalam Islam

Ditulis oleh:  Annisa Abdillah Z. D. (AB2 KAMMI Jember)
Sumber gambar: https://dalamislam.com

 Kalimat tauhid, laa ilaaha illallah sebagai ikrar seorang muslim, secara bahasa berarti menjadikan sesuatu satu saja. Secara istilah, tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususan-Nya. Bertauhid berarti menjadikan Allah sebagai satu-satunya Zat yang berhak untuk disembah dan tidak menjadikan yang lainnya sebagai sesembahan, seperti dalam Q.S. Annisa: 36 yang artinya,Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Tauhid, oleh para ulama dibagi menjadi tiga macam yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma wa sifat. Syekh Bakr Abu Zaid dalam risalahnya,At-Tahdzir” berkata mengenai pembagian tauhid. Kata beliau, “Pembagian ini adalah hasil istiqra (telaah) para ulama salaf terdahulu seperti yang diisyaratakan oleh Ibnu Mandah dan Ibnu Jarir Ath-Thabari serta yang lainnya dan hal itu pun diakui oleh Ibnul Qayim”.1 Dalam Aj-Jadid Syarh Kitab Tauhid,2 dijelaskan ketiga makna tauhid ini:

1.  Tauhid Rububiyah

Tauhid rububiyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah ta’ala adalah Rabb, raja, dan pencipta semua makhluk dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. Tauhid rububiyah adalah meng-Esa-kan Allah karena hanya Allah-lah yang menciptakan, memiliki, dan mengatur langit, bumi, dan seisinya. Seperti dalam Q.S. An-Naas: 1 yang artinya, “Katakanlah, aku berlindung kepada Allah, Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia”.

2.  Tauhid Uluhiyah

Tauhid uluhiyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zahir maupun batin. Tauhid uluhiyah adalah meng-Esa-kan Allah dengan hanya beribadah kepada Allah. Allah-lah satu-satunya Ilaah yang berhak disembah dan hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Seperti dalam Q.S. An-Naas: 3 yang artinya, “Sesembahan manusia”. 

3.  Tauhid Asma wa Sifat

Tauhid asma wa sifat adalah mentauhidkan Allah taala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Alquran dan hadis. Tauhid asma wa sifat adalah meng-Esa-kan Allah dengan nama-Nya dan sifat-Nya yang sempurna. Tidak ada kekurangan dan tidak ada sesuatu lain yang bisa dan berhak menyamai sifat-sifat Allah. Sebagaimana ditulis dalam Q.S. Al-Fatihah: 3 yang artinya, “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Tiga pembagian tauhid di atas sejatinya merupakan satu kesatuan, sehingga tidak bisa dipisahkan seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Arab pada zaman dahulu yang mengimani bahwa Allah Maha Esa yang mengatur, menciptakan, dan memiliki alam semesta namun mereka berbuat syirik dengan beribadah pada selain Allah. Oleh karena itu, seorang muslim wajib untuk menyempurnakan tauhidnya kepada Allah.

            Tauhid merupakan bagian dari akidah, dan esensi akidah seorang muslim adalah tauhid. Seperti yang dijelaskan oleh Ustadz Ahmad Firdaus, Lc dalam ceramahnya, beliau menjelaskan bahwa akidah tidak membahas pada tauhid saja, melainkan juga  membahas tentang rasul dan risalahnya, malaikat dan tugasnya, kitab-kitab samawi, iman kepada hari akhir, iman kepada qada dan qadar, kepemimpinan, dan juga tentang para sahabat.3 Berbicara mengenai akidah, maka ada ilmu yang berisi perdebatan pendapat dalam berakidah yaitu ilmu kalam.

Ilmu kalam berisi tentang perkataan para teolog Islam yang berupaya untuk mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing mengenai akidah, sehingga muncul beberapa aliran dalam berakidah yang kemudian menimbulkan perbedaan pandangan mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan qadar, dan sebagainya. Menurut Harun Nasution, awal mula kemunculan perbedaan pendapat ini dikarenakan faktor politik yang berawal dari peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan yang kemudian berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Penyebab lainnya adalah adanya persoalan siapa yang kafir dan bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan masih tetap dalam Islam. Aliran dalam berakidah diantaranya adalah:

1.  Aliran Syiah, adalah aliran berpendapat bahwa hanya Ali bin Abi Thalib sajalah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad saw. Doktrin lain Syiah adalah kepala negara sebagai pemegang kekuasaan agama dan politik berdasarkan petunjuk Allah dan wasiat Nabi.4

2.  Aliran Khawarij, adalah kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib karena tidak setuju atas keputusan Ali bin Abi Thalib untuk melakukan tahkim/ arbitrase saat perang shiffin dan menganggap Ali bin Abi Thalib melakukan penyelewengan serta menganggap Muawiyah sebagai orang kafir. Khawarij juga memandang bahwa Alquran adalah makhluk dan Tuhan tidak berbicara, melainkan menciptakan kalam.5

3.  Aliran Murjiah, aliran yang netral dalam politik ketika terjadi pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Doktrin aliran Murji’ah adalah orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena kufur dan iman letaknya di hati. Doktrin lainnya adalah aliran ini memandang bahwa shalat bukan merupakan ibadah, karena yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya, yaitu mengetahui Tuhan.6

4.  Aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah, yaitu orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi saw. dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan, amal-amal lahiriyah, serta akhlak hati.  Istilah Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah nama bagi kaum muslimin yang bersih dari ajaran-ajaran baru dan aliran-aliran menyimpang seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, dan sebagainya.7

       Munculnya berbagai pendapat tersebut pada dasarnya adalah upaya para teolog untuk menjelaskan dan mencari kebenaran melalui penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nas (Alquran dan hadis). Berbeda lagi dengan kaum sufi yang mengandalkan penyucian batin dalam mencari kebenaran dengan menyucikan diri dari sifat tercela.8 Untuk menuju pada penyucian jiwa, maka orang-orang sufi memiliki metode yaitu tarekat  yang terbagi menjadi empat yaitu tarekat naqsabandiyah, rifaiyah, qadiriyah, dan syatiriyah.9 Orang sufi, seperti yang dijelaskan oleh ustadz Adi Hidayat dalam ceramahnya adalah orang yang berusaha membebaskan yang kotor dan menghadirkan yang baik dengan cara mengikuti syariat. Namun, ada beberapa orang yang kemudian setelah melakukan banyak zikir dan ibadah membuatnya jauh dari Allah. Ia merasa hatinya bersih dan sudah dekat kepada Allah sehingga menyimpulkan bahwa dirinya tidak perlu melakukan ibadah lagi dan kalaupun melakukan maksiat tidak akan mendapat hukuman karena sudah dekat dengan Allah. Disampaikan juga oleh  K. H. Hasyim Asy’ari, ada sufi yang paling bermasalah yaitu ketika dirinya dengan ibadah itu sudah merasa menyatu dengan Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti).10


Referensi

1Almanhaj.or.id. Pembagian Tauhid. (https://almanhaj.or.id/2333-  pembagian-tauhid.html), diakses pada 2 Juli 2020.

 2Aj-jadid Syarh Kitab Tauhid. (umma.id), diakses: 3 Juli 2020.

 3Youtube Yufid. TV. Februari, 2020. Perbedaan Tauhid dan Akidah. (https://youtu.be/pYd6DkOBRIA), diakses pada 3 Juli 2020.

 4Eri Susanti. 2018. Jurnal Ad-Dirasah : Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-ilmu Keislaman: Aliran-aliran dalam Pemikiran Islam. Vol. 1, No. 1. 23-42

 5Tsuroya Kiswati. Ilmu Kalam. Surabaya : IAIN Sunan Ampel. 2013.

 6Op.Cit. Hal. 40

7Ahmad Muhibbin Zuhri. 2013. Aqidah Ilmu Kalam. Surabaya : UIN Sunan Ampel

8Andi Eka Putra. 2012. Tasawuf, Ilmu Kalam, dan Filsafat Islam. Vol. 7, No. 2. 91-102

 9Agus Riyadi. 2014. Jurnal at-Taqaddum : Tarekat sebagai Organisasi Tasawuf. Vol. 6, No. 2. 359-385

 10Youtube Pemuda Islam. 2018. Apa Itu Aliran Naqsabandiyah dan Sufi. (https://youtu.be/BJ-O7-Ajs1M), diakses pada 3 Juli 2020.

 

Tidak ada komentar